
Siapa yang tidak tahu Film karya Buya Hamka yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”? Sepertinya film ini cukup dikenal oleh orang Indonesia. Pada tahun perilisannya di 2013, film ini menjadi fenomena di kalangan masyarakat. Banyak sekali masyarakat dari kalangan pemuda-pemudi yang menggemari film bernuansa etnik tersebut.
Penulis sendiri, saat film ini dirilis, langsung menjadi bahan perbincangan di kalangan teman-teman sekolah. Tidak sedikit orang yang memparodikan adegan romantis dan iconic dari film ini. Adapun proses pembuatan film ini tidaklah instan. Latar tempat perekaman scene epik dalam film ini dilakukan di berbagai tempat di Indonesia. Sebut saja, Padang, Surabaya, Lombok dan Jakarta.
Kali ini penulis akan mengulas salah satu daerah yang menjadi tempat syuting film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” yaitu di Batipuh. Jika kalian ingat adegan ketika tokoh Zainuddin menuntut ilmu di sebuah surau (masjid), nah surau tersebut adalah Surau Lubuak Bauk yang terletak di Jorong Lubuak Bauk, Nagari Batipuah Baruah, Kecamatan Batipuah, Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Ada sebuah tradisi yang masih dipertahankan oleh penduduk Nagari Batipuah/Batipuh sampai sekarang, yaitu Bakayu dan Mangampiang. Bakayu dan Mangampiang adalah tradisi kematian suku Minangkabau. Kegiatan ini dilakukan sehari pasca seseorang meninggal dunia.

Bakayu adalah tradisi yang biasa dilakukan oleh pelayat laki-laki yang tidak bergelar Datuak. Para pelayat laki-laki ini akan menuju hutan untuk mencari kayu dengan membawa kapak masing-masing. Ini bertujuan untuk meringankan pekerjaan tuan rumah. Kayu-kayu yang didapatkan lalu diapiang (dibelah) di depan rumah duka. Nantinya, kayu-kayu tersebut digunakan untuk memasak hidangan memperingati tiga hari, tujuh hari, hingga empat puluh hari kematian.
Adapun mangampiang adalah tradisi yang dilakukan oleh pelayat perempuan. Waktu mangampiang dilakukan bersamaan dengan bakayu. Ibu-ibu akan datang ke rumah duka sambil membawa beras. Seperti bakayu, tujuan membawa beras oleh ibu-ibu ialah untuk meringankan tuan rumah yang sedang berduka dan sebagai tanda belasungkawa. Selanjutnya ibu-ibu akan menumbuk beras ampiang menggunakan lesung secara bersama-sama yang nantinya beras ini akan diberikan kepada anak-anak sekitar untuk dimakan oleh mereka.
Jika ada yang bertanya, apa itu beras ampiang. Sepertinya cukup menggerakkan jari di pencarian Google, kalian akan mendapatkan jawabannya. Tetapi, penulis akan berbaik hati memberi tahu. Menurut tulisan pada laman Kompas.com, ampiang adalah beras ketan yang ditumbuk pipih. Ampiang merupakan makanan khas rumahan penduduk Batipuh Baruah, Kecamatan Batipuh, Tanah Datar, khususnya daerah Jorong Ladang Laweh dan sekitarnya.
Kembali kepada tradisi Bakayu dan Mangampiang, seiring perkembangan zaman dan teknologi, tradisi ini hampir tidak lagi digunakan. Mengingat sekarang masyarakat memasak tidak lagi menggunakan kayu melainkan kompor gas. Oleh karena itu, bakayu hanya dapat dilakukan di beberapa rumah duka yang masih memasak menggunakan kayu. Sedangkan di beberapa daerah, bakayu digantikan dengan para pelayat laki-laki duduk di atas terpal yang digelar oleh tuan rumah.
Selain dua tradisi di atas, ada tradisi bernama manyiriah rokok (memberikan rokok) kepada ahli waris oleh para pelayat. Kegiatan ini sebelumnya adalah akhir dari prosesi bakayu. Namun karena bakayu sudah jarang dilakukan, maka manyiriah rokok sudah cukup mewakili tradisi bakayu dan mangampiang.
Sumber referensi:
Kompas.com (2020) “Mengenal Ampiang Dadiah, Makanan Minang yang Dicari Gordon Ramsay” dikutip dari https://www.kompas.com/food/read/2020/07/29/140300775/mengenal-ampiang-dadiah-makanan-minang-yang-dicari-gordon-ramsay?page=all#:~:text=Ampiang%20adalah%20beras%20ketan%20yang,di%20Jorong%20Ladang%20Laweh%20sekitarnya pada 28 Februari 2022
Suluah.id (2022) “Mengulas Tradisi Bakayu dan Mangampiang” dikutip dari https://www.suluah.id/2022/02/mengulas-tradisi-bakayu-dan-mangampiang.html pada 28 Februari 2022